Mengenal Hisbah Dalam Siyasah Syar’iyah
Mengenal Hisbah Dalam Siyasah Syar’iyah
Oleh : Abu Ibrahim Sunni
A. Pendahuluan
Kita sering mendengar kabar tentang adanya indikasi salah satu ormas
Islam berbuat anarkis dalam nahi munkar (melarang kemunkaran). Sangat
disayangkan memang, perbuatan yang mulya tersebut (yaitu nahi
munkar)mendapat kecaman dari masyarakat Islam sendiri akibat dari
dilakukannya perbuatan tersebut tanpa ilmu dan kaidah yang benar.
Kita husnudzdzon kepada ormas Islam yang melakukan nahi munkar tersebut
berniat ikhlash karena Allaah. Akan tetapi niat ikhlash saja tidaklah
cukup untuk menjadikan ‘amal kita diterima oleh Allaah. Ada hal lain
selain ikhlash agar ‘amal kita diterima Allaah, yaitu ilmu dan sesuai
sunnah/tuntunan Rasuulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Berdasarkan kondisi tersebut, penulis dengan idzin Allaah dan sedikitnya
ilmu, akan berusaha mengenalkan nahi munkar dalam islam yang dalam
siyasah syar’iyah merupakan bagian dari yang bernama “Hisbah”.
B. Pengertian Hisbah
1. Secara Bahasa
Secara bahasa hisbah berasal dari kata “ ihtasaba yahtasibu ihtisaaban”, yang mempunyai beberapa makna yaitu :
a. Perhitungan atau meminta ganjaran.
b. Pengingkaran (terhadap perbuatan buruk).
c. Persangkaan.
d. Penghargaan.
e. Merasa cukup.
2. Secara Istilah
Secara istilah hisbah adalah memerintahkan kebaikan jika (kebaikan
tersebut) tampak ditinggalkan dan melarang keburukan jika (keburukan
tersebut) tampak dikerjakan.
Yang dimaksud ma’ruf (kebaikan) adalah
setiap sesuatu yang baik menurut syari’at Islam, atau nama yang meliputi
setiap sesuatu yang diketahui merupakan ketha’atan kepada Allaah,
mendekatkan diri kepada-Nya, berbuat baik kepada manusia.
Yang
dimaksud munkar (keburukan) adalah setiap sesuatu yang tidak diridhai
Allaah baik perkataan atau perbuatan, atau setiap sesuatu yang dipandang
buruk, haram, makruh oleh syari’at Islam.
C. Dalil Hisbah
1. Dalil dari al-qur’an diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi :
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar,
merekalah orang-orang yang beruntung.”
2. Dalil dari hadits riwayat Muslim dari Abi Sa’id al-Khudriy yang berbunyi :
“Jika kamu melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika
tidak mampu (merubah dengan tangan) maka rubahlah dengan lisannya, jika
tidak mampu (merubah dengan lisan) maka (hendaklah mengingkari) dengan
hatinya. Yang demikian itu (pengingkaran dengan hati) merupakan
selemah-lemahnya iman.”
3. Dalil dari ijma’ para ulama diantaranya Imam Al-Qurthubi, An-Nawawi, Al-Ghazali dan lain-lain, yang mengatakan :
“Wajibnya amar ma’ruf dan nahi munkar sesuai kemampuan , merubah yang
merusak/membahayakan diri dan kaum muslimin menjadi aman. Jika merasa
takut (dari melakukan amar ma’ruf nahi munkar) maka mengingkarinya
dengan hati, meninggalkan kemunkaran dan tidak ikut campur dalam
kemunkaran.
D. Hukum Hisbah
Ada dua pendapat tentanghukum hisbah, yaitu :
1. Pendapat pertama : Fardhu Kifayah
Pendapat pertama ini dikemukakan oleh jumhur ulama yang mengatakan
bahwa amar ma’ruf nahi munkar jika sudah dikerjakan oleh sebagian orang
maka gugurlah kewajiban yang lain yang tidak mengerjakannya.
Pendapat pertama ini berdalil dari al-qur’an surat Ali Imran ayat 104 di
atas, dengan dalil bahwa kata “min” dari “minkum” (di antara kamu)
merupakan untuk tab’iidh (untuk sebagian).
2. Pendapat kedua : Fardhu ‘Ain
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Hazm Azh-Zhaahiri, Ibnu Abi Zaid
Al-Qiiruuniy, Az-Zujaaj, Ibnul Juzi, Syaikh Muhammad ‘Abduh, Syaikh
Rasyid Ridha’, Syaikh ‘Ali Al-Khafifi, dan sebagian Ahli Fiqih Imamiyah
(Syi’ah), yang mengatakan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah wajib
bagi setiap orang.
Pendapat kedua ini berdalil dari al-qur’an surat
Ali Imran ayat 104 di atas, dengan dalil bahwa kata “min” dari “minkum”
(di antara kamu) merupakan untuk penjelasan bukan untuk tab’iidh(untuk
sebagian).
E. Keadaan Yang Bisa Hukum Hisbah
Hukum hisbah bisa berubah dari fardhu kifayah menjadi fardhu ‘ain jika ada beberapa keadaan sebagai berikut, yaitu :
1. Hukum hisbah menjadi fardhu ‘ain bagi sulthan (pemerintah/ulil amri).
Imam Mawardi mengatakan : “ Hukum hisbah adalah fardhu ‘ain bagi pemegang kekuasaan.”
2. Hukum hisbah menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang berilmu tentang
kewajiban hisbah, dia mengetahui bahwa kema’rufan telah ditinggalkan
dan kemunkaran telah dikerjakan.
Imam Nawawi mengatakan : “Hukum
hisbah adalah fardhu kifayah kecuali pada tempat yang ada yang
mengetahui (tentang kewajiban hisbah) kecuali dia.
F. Keadaan Yang Dilarang Melakukan Hisbah
1. Orang yang bodoh terhadap hal – hal yang ma’ruf dan munkar.
Orang yang bodoh terhadap hal – hal yang ma’ruf dan munkar dilarang dan tidak halal melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
2. Mendatangkan kemunkaran yang lebih besar.
Jika melakukan nahi munkar bisa mendatangkan kemunkaran yang lebih besar maka tidak boleh melakukan nahi munkar.
G. Hikmah Disyari’atkannya Hisbah
Di antara hikmah disyari’atkannya hisbah adalah sebagai berikut :
1. Hisbah merupakan hal – hal yang diutamakan oleh Rasuulullaah.
2. Menegakkan hisbah merupakan termasuk sifat – sifat Rasuulullaah.
3. Menegakkan hisbah merupakan termasuk sifat – sifat orang mu’min.
4. Menegakkan hisbah merupakan ciri – cirri orang shaalih.
5. Menegakkan hisbah merupakan penyebab dari sempurnanya kebaikan.
6. Menegakkan hisbah merupakan penyebab datangnya pertolongan.
7. Menegakkan hisbah merupakan penyebab dihapuskannya dosa.
8. Menegakkan hisbah merupakan salah satu anak panah dari panah – panah Islam.
9. Jihad yang paling utama adalah menegakkan kalimat haq kepada pemimpin yang zhalim.
10. Mulyanya terbunuh karena melakukan hisbah.
Allaahu A’lam. Semoga bermanfa’at.
H. Sumber Rujukan
1. Al – Ihtisaab Wa Shifaatul Muhtasib, ‘Abdullaah Al – Mathu.
2. Al – Hisbatu Fil Maadhi Wal Haadhir baina Tsiyaabil Ahdaafi Wa Tathuurul Usluub, ‘Ali bin Hasan Al – Qarniy.
3. Ushuulud Da’wah, ‘Abdul Kariim Ziidaan.
Sumber : https://www.facebook.com/macgyversunni/posts/617271061630292
Tidak ada komentar:
Posting Komentar