Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Ustadz.
Saya ingin bertanya, apa hukum istri bila menolak ajakan suami untuk berhubungan intim di siang hari di bulan Ramadhan?
Dari: Puput
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama, orang yang melaksanakan puasa ramadhan, atau puasa wajib lainnya, tidak boleh dia batalkan, kecuali karena uzur yang dibenarkan secara syariat
Ibnu Qudamah mengatakan,
ومن دخل في واجب، كقضاء رمضان، أو نذر معين أو مطلق، أو صيام كفارة؛ لم يجز له الخروج منه…
“Siapa yang telah memulai puasa wajib seperti qadha ramadhan, puasa nazar hari tertentu atau nazar mutlak, atau puasa kafarah, tidak boleh membatalkannya…” (Al-Mughni, 3/160 – 161).
Sementara hubungan intim di siang hari termasuk pembatal puasa. Karena itu, apabila suami mengajak istrinya untuk melakukan hubungan badan, wajib bagi istri untuk menolaknya dan haram bagi istri untuk mentaatinya. Karena mentaati perintah Allah, lebih didahulukan dari pada mentaati perintah makhluk.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
"Tidak ada ketaatan untuk melakukan maksiat kepada Allah. Ketaatan kepada makhluk itu hanya berlaku dalam kebaikan". (HR. Bukhari 7257 dan Muslim 1840).
Kedua, jika suami benar-benar memaksa istri, hingga tidak ada pilihan selain melakukan hubungan badan, apakah puasa istri batal? Adakah kewajiban membayar kaffarah?
Ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
1. Mayoritas ulama – Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah dalam salah satu pendapatnya, dan Hambali berpendapat bahwa istri yang dipaksa suaminya untuk hubungan badan, maka puasanya batal, wajib dia qadha, namun tidak wajib membayar kaffarah.
2. Sementara Syafiiyah dalam salah satu pendapatnya, dan hambali juga dalam salah satu pendapat, mengatakan, wanita yang dipaksa untuk melakukan hubungan badan, puasanya tetap sah, tidak ada kewajiban qadha maupun kaffarah.
Pendapat yang lebih menenangkan adalah pendapat pertama, dan itulah yang difatwakan Imam Ahmad. Ibnu Qudamah mengatakan,
وإن أكرهت المرأة على الجماع فلا كفارة عليها رواية واحدة وعليها القضاء. قال مُهنَّا: سألت أحمد عن امرأة غصبها رجل نفسها فجامعها، أعليها القضاء؟ قال: نعم. قلت: وعليها كفارة؟ قال: لا. وهذا قول الحسن ونحو ذلك قول الثوري والأوزاعي وأصحاب الرأي
Apabila wanita dipaksa untuk jimak, dia tidak wajib bayar kaffarah, menurut satu riwayat dari imam Ahmad, namun dia wajib qadha. Muhanna mengatakan: ‘Saya bertanya kepada Imam Ahmad tentang wanita yang dipaksa seseorang, kemudian dia melakukan hubungannya dengannya. Apakah wanita itu wajib qadha puasanya?’ “Ya, wajib qadha.” Jawab Imam Ahmad. “Apakah dia wajib kaffarah?” tanya Muhanna. “Tidak wajib.” Jawab Imam Ahmad. Dan inilah yang menjadi pendapat Hasan Al-Bashri, At-Tsauri, Al-Auza’i, dan Ashabur Ra’yi. (Al-Mughni, 3/137).
Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)
Assalamu’alaikum Ustadz.
Saya ingin bertanya, apa hukum istri bila menolak ajakan suami untuk berhubungan intim di siang hari di bulan Ramadhan?
Dari: Puput
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama, orang yang melaksanakan puasa ramadhan, atau puasa wajib lainnya, tidak boleh dia batalkan, kecuali karena uzur yang dibenarkan secara syariat
Ibnu Qudamah mengatakan,
ومن دخل في واجب، كقضاء رمضان، أو نذر معين أو مطلق، أو صيام كفارة؛ لم يجز له الخروج منه…
“Siapa yang telah memulai puasa wajib seperti qadha ramadhan, puasa nazar hari tertentu atau nazar mutlak, atau puasa kafarah, tidak boleh membatalkannya…” (Al-Mughni, 3/160 – 161).
Sementara hubungan intim di siang hari termasuk pembatal puasa. Karena itu, apabila suami mengajak istrinya untuk melakukan hubungan badan, wajib bagi istri untuk menolaknya dan haram bagi istri untuk mentaatinya. Karena mentaati perintah Allah, lebih didahulukan dari pada mentaati perintah makhluk.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
"Tidak ada ketaatan untuk melakukan maksiat kepada Allah. Ketaatan kepada makhluk itu hanya berlaku dalam kebaikan". (HR. Bukhari 7257 dan Muslim 1840).
Kedua, jika suami benar-benar memaksa istri, hingga tidak ada pilihan selain melakukan hubungan badan, apakah puasa istri batal? Adakah kewajiban membayar kaffarah?
Ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
1. Mayoritas ulama – Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah dalam salah satu pendapatnya, dan Hambali berpendapat bahwa istri yang dipaksa suaminya untuk hubungan badan, maka puasanya batal, wajib dia qadha, namun tidak wajib membayar kaffarah.
2. Sementara Syafiiyah dalam salah satu pendapatnya, dan hambali juga dalam salah satu pendapat, mengatakan, wanita yang dipaksa untuk melakukan hubungan badan, puasanya tetap sah, tidak ada kewajiban qadha maupun kaffarah.
Pendapat yang lebih menenangkan adalah pendapat pertama, dan itulah yang difatwakan Imam Ahmad. Ibnu Qudamah mengatakan,
وإن أكرهت المرأة على الجماع فلا كفارة عليها رواية واحدة وعليها القضاء. قال مُهنَّا: سألت أحمد عن امرأة غصبها رجل نفسها فجامعها، أعليها القضاء؟ قال: نعم. قلت: وعليها كفارة؟ قال: لا. وهذا قول الحسن ونحو ذلك قول الثوري والأوزاعي وأصحاب الرأي
Apabila wanita dipaksa untuk jimak, dia tidak wajib bayar kaffarah, menurut satu riwayat dari imam Ahmad, namun dia wajib qadha. Muhanna mengatakan: ‘Saya bertanya kepada Imam Ahmad tentang wanita yang dipaksa seseorang, kemudian dia melakukan hubungannya dengannya. Apakah wanita itu wajib qadha puasanya?’ “Ya, wajib qadha.” Jawab Imam Ahmad. “Apakah dia wajib kaffarah?” tanya Muhanna. “Tidak wajib.” Jawab Imam Ahmad. Dan inilah yang menjadi pendapat Hasan Al-Bashri, At-Tsauri, Al-Auza’i, dan Ashabur Ra’yi. (Al-Mughni, 3/137).
Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar