Senin, 22 Juli 2013

Hukum Bermajlis dengan Ahli Bid'ah


Fatwa Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak

Soal

Terdapat banyak atsar (riwayat) dari para salaf (ulama terdahulu) yang menganggap sama antara orang-orang yang bersahabat dengan ahli bid’ah atau bermajelis dengannya, ke dalam hukum ahli bid’ah itu sendiri (yaitu menganggap
mereka termasuk ahli bid’ah -pent). Apakah hukum ini dimaknai sebagaimana apa adanya (yaitu mereka benar-benar termasuk ahli bid’ah), atau dimaknai sebagai peringatan (supaya orang-orang menjauhi majelis mereka), dan pencegahan darinya? Apakah perbedaan dari kedua hal itu? Apakah hukum (dalam atsar-atsar) tersebut berlaku pada semua majelis, atau perlu melihat sebab-sebab bermajelis?

Jawab

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وبعد

[ Larangan bermajelis dengan ahli bid'ah ]

Allah Ta’ala berfirman :

{وقد نزل عليكم في الكتاب أن إذا سمعتم آيات الله يكفر بها ويستهزأ بها فلا تقعدوا معهم حتى يخوضوا في حديث غيره إنكم إذاً مثلهم} [النساء: 140]

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam Al Qur’an bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kalian duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka.” (QS. An-Nisaa’ : 140)

Ayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwasanya orang yang duduk dalam majelis yang di dalamnya ayat-ayat Allah diingkari, dan diperolok-olokkan; maka dia seperti mereka (yaitu orang-orang yang kafir lagi mengolok-olok ayat-ayat-Nya). Hukum ini juga diterapkan dalam majelis ahli bid’ah ketika mereka berbicara tentang kebid’ahan mereka dan berdakwah kepadanya, karena orang yang duduk-duduk dengan mereka, sementara mereka berkata-kata dengan kebatilan dan menyesatkan manusia, maka dia (dihukumi) seperti mereka. Hal ini disebabkan duduknya dia bersama mereka, tanpa melakukan pengingkaran, menunjukkan kerelaannya terhadap ahli bid’ah tersebut, dan terhadap kebatilan mereka.

[ Hukum-hukum terkait dengan bermajelis dengan ahli bid'ah ]

Maka barangsiapa yang tidak mampu mencegah kemungkaran itu, wajib baginya tidak menghadiri majelis tersebut, bahkan berdiri dari majelis yang bermaksiat kepada Allah (jika sebelumnya dia duduk di dalam majelis -pent).

Sedangkan apabila tidak membicarakan kebatilan, baik berupa kekafiran, bid’ah, maupun maksiat; maka duduk-duduk dalam keadaan seperti ini berbeda-beda hukumnya sesuai dengan maksud, sebab, dan dampak yang ditimbulkan. Kadang duduk-duduk tersebut hukumnya disyariatkan, seperti apabila dimaksudkan dengannya untuk melunakkan hati dan berdakwah, tanpa adanya kekhawatiran bahaya menimpa agamanya.

Kadang hukumnya makruh, dan kadang juga hukumnya mubah, jika dilakukan karena adanya keperluan yang mubah. Kadang juga hukumnya bisa menjadi haram, jika menimbulkan mafsadah yang menimpa agamanya, atau menimpa agama orang lain yang mengikuti/mencontohnya.

[ Diantara maksud hajr ]

Hajr (boikot) orang-orang yang gemar bermaksiat dan ahli bid’ah kadang dimaksudkan untuk menjaga diri dari kejelekan mereka, dan kadang dimaksudkan untuk pengingkaran, dan peringatan kepada mereka supaya bertaubat.

Atsar-atsar dari salaf berupa peringatan dari bermajelis dengan ahlul bid’ah, disebabkan kekhawatiran terhadap kejelekan mereka, karena mereka akan memberikan dampak buruk kepada orang yang bermajelis dengan mereka. Dan kebanyakan manusia tidak memiliki ilmu dan kekuatan iman yang menjadi penjaga diri dari kejelekan ahli bid’ah dan ahli kesesatan, sebagaimana dikatakan bahwa “pencegahan lebih baik dari pengobatan”.

Wallaahu a’lam.



Catatan : diantara tanda [ dan ] merupakan tambahan dari penerjemah.

Diterjemahkan dari : http://ar.islamway.net/fatwa/36288

Penerjemah : Abu Kaab Prasetyo
Artikel Muslim.Or.Id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar