1. Mengkhususkan malam Jum’at untuk sholat malam dan berpuasa di siang harinya.
Ini terlarang berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari
dan Muslim dari Muhammad bin ‘Abbad bin Ja’far, beliau berkata, “Saya
bertanya kepada Jabir, ["Apakah Rasululah -Shallallahu 'alaihi wasallam-
melarang untuk berpuasa pada hari Jum'at?"], beliau menjawab, ["Ya"]“.
Dan diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shohihnya bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لاَ تَخْتَصُّوْا لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ
اللَّيَالِي, وَلاَ تَخْتَصُّوْا يَوْمَ الْجُمْعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ
الْأَيَّامِ, إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ فِي صَوْمٍ يَصُوْمُهُ أَحَدُكُم
“Jangan kalian mengkhususkan sholat malam pada malam Jum’at dan jangan
pula kalian mengkhususkan berpuasa pada hari Jum’at, kecuali puasa yang
salah seorang di antara kalian biasa berpuasa padanya”.
Larangan
(dalam hadits) ini -menurut jumhur- adalah bermakna makruh, dan menurut
sekelompok ulama -di antaranya Syaikhul Islam- adalah bermakna haram.
Dan tidak masuk ke dalam larangan jika pengkhususan (terhadap hari
Jum’at untuk berpuasa) dikarenakan berpuasa Hari Arafah atau ‘Asyura`
atau bagi orang yang berpuasa sehari dan berbuka sehari (1). Kebanyakan
ulama menyatakan karena hal itu termasuk ke dalam sabda beliau
-Shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Kecuali puasa yang salah seorang di
antara kalian biasa berpuasa padanya”.
2. Bergampangan dalam mendengarkan khutbah Jum’at atau berbicara ketika imam berkhutbah.
Mendengarkan khutbah dan diam untuk mendengarnya adalah perkara yang
sangat dituntut, dan larangan untuk berbicara dan (larangan) untuk tidak
memperhatikan (khutbah) disebutkan dalam hadits-hadits yang banyak. Di
antaranya sada beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ: (أَنْصِتْ) وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Jika kamu berkata kepada temanmu pada hari Jum’at, “Diamlah kamu”
sementara imam sedang berkhutbah, maka sungguh engkau telah berbuat
kesia-siaan”. Muttafaqun ‘alaihi
Ucapan “diamlah kamu” teranggap
memutuskan perhatian dari mendengar khutbah walaupun sebentar sehingga
menghasilkan kesia-siaan. Ini adalah keadaan orang yang menasehati
(baca: menegur), maka bagaimana lagi dengan orang yang berbicara pertama
kali (yang ditegur-pent.)
Al-Hafzh menyatakan dalam Al-Fath, “Maka
jika beliau (Nabi) menghukumi ucapan “diamlah kamu” -padahal dia adalah
orang yang beramar ma’ruf- sebagai kesia-siaan, maka ucapan yang lainnya
lebih pantas dianggap sebagai kesia-siaan”(2).
3. Berjual beli setelah adzan kedua.
Tidak halal mengadakan transaksi jual beli setelah adzan(3) dan jual
belinya teranggap fasid (rusak/tidak syah), berdasarkan firman Allah
-Ta’ala-:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ
مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا
الْبَيْعَ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru
untuk menunaikan sholat pada hari Jum`at, maka bersegeralah kalian
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”. (QS. Al-Jumu’ah: 9)
Maka dalam ayat ini Allah melarang berjual beli setelah adzan, yakni
adzan kedua. Jual belinya fasid karena (melanggar) larangan mengharuskan
fasad (rusak/tidak syah).
4. Sholat setelah adzan ketika khathib masuk, yang dikenal dengan nama (sholat) sunnah (qabliyah) Jum’at.
Sholat ini bukanlah sunnah dan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Imam Ibnul Qayyim -rahimahullah- berkata
ketika menjelaskan petunjuk Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam
masalah ini, “Jika Bilal sudah selesai adzan maka NaBi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- langsung berkhutbah dan tidak ada seorangpun yang
berdiri mengerjakan (sholat) dua raka’at sama sekali, dan tidak ada
adzan (pada hari Jum’at-pent.) kecuali satu kali. Hal ini menunjukkan
bahwa (sholat) Jum’at sama seperti (sholat) ‘Id yang tidak mempunyai
(sholat) sunnah sebelumnya. Inilah yang paling benar di antara 2
pendapat ulama dan inilah yang ditunjukkan oleh sunnah”. Kemudian beliau
berkata, “Dan barangsiapa yang menyangka bahwa mereka (para
sahabat-pent.) semuanya berdiri -tanpa kecuali- lalu mengerjakan 2
raka’at setelah selesainya Bilal mengumandangkan adzan, maka dia adalah
orang yang paling bodoh tentang sunnah. Apa yang kami sebutkan ini
berupa tidak adanya (sholat) sunnah sebelum Jum’at adalah madzhab Malik,
Ahmad -menurut yang paling masyhur dari beliau-, dan salah satu sisi
(pendapat) di kalangan ashhab (pengikut) Syafi’i”. Sampai akhir ucapan
beliau
5. Melangkahi tengkuk-tengkuk manusia (jama’ah)
Ini termasuk kesalahan yang tersebar dan merupakan bentuk gangguan
kepada orang-orang yang sholat yang datang lebih dahulu. Telah ada
hadits-hadits yang melarang darinya, (di antaranya) dari ‘Abdullah bin
Busr -radhiallahu ‘anhuma- beliau berkata, “Seorang lelaki datang (ke
masjid) pada hari Jum’at lalu melangkahi tengkuk-tengkuk jama’ah
sementara Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sedang berkhutbah, maka
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
اِجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ وَآنَيْتَ
“Duduklah kamu, sungguh kamu telah mengganggu dan membuat orang
terlambat.” Riwayat Ahmad, Abu Daud, An-Nasa`i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, dan yang lainnya dengan lafadz-lafadz yang hampir sama, sedang
lafadz ini adalah lafadz Ahmad.
6. Memperpanjang khutbah dan mempersingkat sholat.
Ini menyelisihi sunnah, karena yang merupakan sunnah adalah
mempersingkat khutbah, memendekkannya dan tidak memperbanyak ucapan yang
tidak bermanfaat, serta memperpanjang sholat. Dari ‘Abdullah bin Abi
‘Aufa, beliau berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُطِيْلُ الصَّلاَةَ وَيَقْصُرُ الْخُطْبَةَ
“Adalah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- biasa memperpanjang sholat dan mempersingkat khutbah”. Riwayat An-Nasa`i.
Dan dari ‘Ammar bin Yasir beliau berkata, saya mendengar Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِنَّ طُوْلَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مُئْنَةٌ مِنْ
فِقْهِهِ, فَأَطِيْلُوْا الصَّلاَةَ وَأَقْصِرُوْا الْخُطْبَةَ وَإِنَّ
مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا
“Sesungguhnya panjangnya sholat dan
singkatnya khutbah seseorang merupakan tanda kefaqihannya. Maka
panjangkanlah sholat dan persingkatlah khutbah, sesungguhnya di antara
bentuk penjelasan ada yang merupakan sihir”. Riwayat Muslim
Maka
dalam hadits ini terdapat perintah untuk memperpanjang sholat dan
mempersingkat khutbah, sehingga terkumpullah dalam masalah ini ucapan
dan perbuatan beliau.
7. Menyentuh (baca: bermain dengan)
kerikil atau melakukan perbuatan sia-sia (baca: bermain-main) dengan
menggunakan tasbih (arab: misbahah) dan semisalnya(4).
Ini adalah
hal yang terlarang, termasuk di dalamnya bermain dengan al-gutroh atau
pakaian atau alas masjid (sajadah atau terpal atau karpet-pent.) atau
dengan siwak atau selainnya, seperti: tasbih, jam tangan, dan polpen.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
Shohihnya, bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمْعَةَ
فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ, غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمْعَةِ
وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ, وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَى
“Barangsiapa yang berwudhu lalu memperbaiki wudhunya kemudian dia
mendatangi (Sholat) Jum’at, dia mendengarkan (khutbah) dan diam, maka
akan diampuni dosa-dosanya antara Jum’at ini dengan Jum’at yang akan
datang ditambah tiga hari. Dan barangsiapa yang menyapu kerikil (dengan
tangannya) maka sungguh dia telah berbuat sia-sia”.
8. Menyendirikan hari Jum’at untuk berpuasa.
Ada banyak hadits yang menerangkan tentang larangan menyendirikan hari
Jum’at untuk berpuasa, di antaranya adalah hadits Abu Hurairah
-radhiallahu ‘anhu- beliau berkata, saya mendengar Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لاَ يَصُوْمَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمْعَةِ إِلاَّ أَنْ يَصُوْمَ يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ
“Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari
Jum’at, kecuali dia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”.
Muttafaqun ‘alaih dan ini adalah lafadz Imam Al-Bukhari.
Dalam Shohih Muslim, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لاَ تُخُصُّوْا يَوْمَ الْجُمْعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ سَائِرِ
الْأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ فِي صَوْمٍ يَصُوْمُهُ أَحَدُكُمْ
“Jangan kalian mengkhususkan hari Jum’at dari hari-hari lainnya dengan
berpuasa, kecuali puasa yang kalian biasa berpuasa dengannya “.
Dan
dalam Shohih Al-Bukhari dari Juwairiyah bintu Al-Harits (beliau
bercerita) bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah masuk kepada
beliau pada hari Jum’at sedang beliau dalam keadaan berpuasa, maka Nabi
bersabda:
أَصُمْتِ أَمْسِ؟ قَالَتْ: لاَ. قَالَ: فَتُرِيْدِيْنَ أَنْ تَصُوْمِي غَدًا؟ قَالَتْ: لاَ. قَالَ: فَأَفْطِرِي
“Apakah kamu berpuasa kemarin?”, dia menjawab, “Tidak”. Beliau
bersabda, “Apakah kamu akan berpuasa besok?”, dia menjawab, “Tidak”.
Beliau bersabda, “Kalau begitu berbukalah kamu sekarang”.
Dan hadits-hadits (dalam masalah ini) sangat banyak.
Adapun hikmah larangan -wallahu a’lam- adalah apa yang disebutkan oleh
Imam Ibnul Qoyyim dalam ucapan beliau, “Untuk menutup sarana masuknya
apa-apa yang bukan agama ke dalam agama, dan wajib untuk menyelisihi
ahli kitab dalam hal mengkhususkan sebagian hari untuk tidak mengerjakan
amalan-amalan duniawi. Dan juga ditambahkan bahwa hari ini (Jum’at),
tatkala keutamaannya dibandingkan hari-hari lainnya sangat jelas maka
alasan untuk berpuasa padanya sangat kuat, sehingga jadilah dia (Jum’at)
sebagai hari yang manusia berbondong-bondong berpuasa padanya dan
merayakannya dengan apa-apa yang mereka tidak rayakan dengan berpuasa
pada hari-hari lainnya, dan dalam hal ini ada perbuatan menambahkan ke
dalam syari’at apa-apa yang bukan bagian darinya. Karena hal inilah
-wallahu A’lam- dilarang untuk mengkhususkan malam Jum’at untuk sholat
dibandingkan malam-malam lainnya karena dia merupakan malam yang paling
utama …”.
Dan telah berlalu dalam point pertama tentang hukum
menyendirikan hari Jum’at untuk berpuasa jika dia bertepatan dengan
(puasa) ‘Arafah atau Asyuro` bahwa hal tersebut tidaklah mengapa.
___________
(1) Maksudnya jika kebetulan puasa-puasa ini jatuhnya pada hari Jum’at.
(2) Termasuk di dalamnya ketika seseorang berbicara menyuruh orang lain
untuk mengedarkan celengan jumat atau ucapan lain yang diucapkan jamaah
sementara khutbah berlangsung. Maka tidak termasuk ucapan sia-sia,
ucapan yang diucapkan ketika khatib sedang duduk di antara dua khutbah
dan tidak termasuk darinya percakapan yang terjadi antara khatib dan
jamaah, sebagaimana yang tersebut dalam beberapa hadits.
(3)
Yakni bagi orang yang wajib untuk menghadiri jum’at. Adapun kaum wanita
atau anak lelaki yang belum balig maka diperbolehkan bagi mereka berjual
beli walaupun telah azan jum’at karena mereka tidak diwajibkan shalat
jum’at.
(4) Termasuk hal yang dimakruhkan adalah menyilangkan
jari-jari kedua tangan sebelum shalat, berdasarkan beberapa hadits yang
hasan dari seluruh jalan-jalannya, di antaranya adalah hadits Ka’ab bin
Ujrah, Abu Hurairah, dan selainnya. Dan bisa termasuk di dalamnya
perbuatan mengedarkan celengan jumat karena hal itu bisa membuat
seseorang lalai dari mendengar khutbah sebagaimana yang telah berlalu.
Karenanya hendaknya celengan jumat diedarkan sebelum khutbah atau
setelah shalat jumat, wallahu a’lam.
[Diterjemah dari
Al-Minzhar fii Bayan Al-Akhtha` karya Asy-Syaikh Saleh Alu Asy-Syaikh
hal. 44-47, dan footnote dari penerjemah]
Sumber : https://www.facebook.com/asrizal.nasution/posts/580481078674908
Tidak ada komentar:
Posting Komentar