CARA MEMAHAMI DAN MENGAMALKAN AJARAN ISLAM DENGAN BENAR
Bingung, pusing, heran, itulah yang dirasakan kalau memikirkan
banyaknya kelompok dalam Islam. Bagaimana bisa berbeda dan berpecah
belah, padahal katanya sama-sama berpegang teguh pada Al-Quran dan
Al-Hadits. Koq bisa beda dalam memberikan jawaban dan menyikapi
permasalahan, padahal dalilnya sama dari ayat Al-Quran dan Al-Hadits
juga. Apakah tidak ada suatu metode atau cara yang tepat dan benar
dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam?
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu”. (QS.
Al-Maidah: 3).
Kesempurnaan dan kejelasan ajaran Islam pun
telah ditegaskan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wasallam di dalam hadits
berikut ini:
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian (syariat) yang putih
cemerlang (jelas), malamnya seperti siangnya. Tidak akan menyeleweng
daripadanya sepeninggalku melainkan dia akan binasa”. (HR. Ibnu Majah
I/16 no.43, dan Ahmad IV/126 no.17182, dari jalan Al-‘Irbadh bin Sariyah
rodhiyallahu anhu).
Juga diriwayatkan dari Muththalib bin Hanthab radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ قَدْ
أَمَرْتُكُمْ بِهِ, وَمَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا نَهَاكُمْ عَنْهُ إِلاَّ
قَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
“Tidak kutinggalkan sesuatu pun dari
yang Allah perintahkan kecuali telah aku perintahkan kepada kalian, dan
tidaklah aku tinggalkan sedikit pun perkara yang Allah larang melainkan
sungguh telah aku larang kalian dari padanya”. (HR. Imam Asy-Syafi’i di
dalam Musnadnya I/233 no.1153).
Jelas sudah bagi yang mengaku
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya bahwa Islam telah sempurna dan
lengkap serta tidak membutuhkan perubahan dan penambahan atau
pengurangan. Selain itu, Allah sendiri yang menjamin kemurniannya,
seperti dalam firman-Nya:
إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Adz-Dzikr (Al-Quran) dan sesungguhnya Kamilah yang menjaganya”. (QS. Al-Hijr: 9).
Sebagaimana Allah telah menjamin keaslian Al-Quran, seperti itu pulalah
Allah menjamin kemurnian Islam. Karena itu tidak akan ada pertentangan
apapun di antara segala perkara yang terdapat di dalamnya. Sebagaimana
firman-Nya: أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ
غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا “Apakah mereka tidak
memperhatikan Al-Quran? Sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah,
tentu mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya”.
(QS. An-Nisa’: 82).
Demikianlah keseluruhan ajaran Islam. Pada
asalnya tidak sedikit pun mengandung unsur pertentangan. Pertentangan
hingga perpecahan umat Islam di dalam memahami dan mengamalkan ajaran
Islam tidaklah terjadi melainkan disebabkan tersebarnya hawa nafsu,
syahwat, syubhat, keras hati dalam menerima kebenaran, kurang atau
bahkan tidak mengikuti tuntunan Nabi, melemah dan hilangnya sunnah dan
tersebarnya bid’ah, dan mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan
seperti mencampur Islam dengan filsafat, ilmu kalam dan lain sebagainya.
Memang berbagai macam manhaj (konsep memahami agama) yang diikuti
kebanyakan umat Islam yang tidak sesuai dan tidak berdasarkan Al-Quran
dan Sunnah yang shahih, pasti tidak akan membawa manfaat apa pun,
kecuali semakin menjauhkan umat ini dari jalan yang benar.
Hal ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam di dalam hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ ، قَالَ : خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ، ثُمَّ قَالَ : هَذَا سَبِيلُ
اللهِ ، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ، ثُمَّ
قَالَ : هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو
إِلَيْهِ ، ثُمَّ قَرَأَ : {وَإِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا
فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ ، فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ
سَبِيلِهِ}.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia
berkata: “Bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membuat garis
dengan tangannya lalu berkata, “Inilah jalan Allah yang lurus”. Kemudian
membuat garis lagi di sebelah kanan dan kirinya, seraya berkata, “Ini
adalah jalan-jalan yang lain. Tiada satu pun darinya tersebut kecuali di
sana ada setan yang menyeru kepadanya”.
Kemudian beliau
membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Sesungguhnya ini adalah
jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah engkau mengikuti
jalan-jalan lain, karena kan mecerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Demikian
itulah Allah wasiatkan kepadamu agar kamu bertakwa”. (HR. Ahmad I/435
no.4142).
Jelas dari dalil di atas, bahwa manhaj (metode/cara)
yang benar itu hanya satu dan sikap mengikuti manhaj selainnya akan
membawa pertentangan, perpecahan, dan kesesatan. Padahal sebelumnya,
prinsip-prinsip ajaran Islam sendiri adalah satu sejak zaman Nabi Adam
hingga Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Demikian juga halnya
dengan kondisi umat yang ada.
Namun karena berbagai
penyelewengan itulah akhirnya terjadi pertentangan dan perpecahan. Hal
ini dijelaskan Allah di dalam firman-Nya:
وَمَا كَانَ النَّاسُ
إِلا أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا وَلَوْلا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ
رَبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ فِيمَا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
“Tidaklah manusia itu (dahulu) melainkan umat yang satu, kemudian mereka
berselisih. Kalau tidak karena ketetapan yang telah berlalu dari
Rabb-mu, niscaya telah diberi keputusan di antara mereka mengenai apa
yang mereka perselisihkan”. (QS. Yunus: 19).
Ibnu Katsir
menafsirkan ayat tersebut, bahwa akan ada generasi manusia berikutnya
yang beraneka ragam agama, keyakinan, ajaran, kelompok, dasar pijakan,
dan pikiran mereka. Sedangkan Ikrimah mengatakan bahwa mereka berselisih
dalam petunjuk. Tetapi di antara mereka ada yang dikecualikan,
sebagaimana firman-Nya:
وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
“Mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu”. (QS. Huud: 118-119).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Allah mengabarkan bahwa
orang-orang yang dirahmati-Nya tidak akan berselisih. Mereka adalah para
pengikut Nabi dengan perkataan dan perbuatan, dan mereka adalah ahli
Al-Quran dan hadits dari umat ini”. Yakni mereka yang mendapat rahmat
Allah dari setiap pengikut para Nabi yang berpegang teguh dengan segala
yang diperintahkan agama. Mereka itu dikenal dengan golongan yang
selamat (Al-Firqoh An-Najiyah). Hal ini diperkuat dengan sabda Nabi
shallallahu ’alaihi wasallam:
أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ
أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً
وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ,
ثِنْتَانِ وَسَبْعِيْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ
الْجَمَاعَةُ
“Ketahuilah, sesungguhnya orang sebelum kamu dari
ahli kitab telah berpecah belah menjadi 72 kelompok. Dan sungguh umat
ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan. 72 berada di neraka dan
hanya satu dalam surga, yaitu al-jama’ah”. (HR. Ahmad IV/102 no.16979,
Abu Dawud II/608 no.4597, Ibnu Majah II/1322 no.3992).
Sekarang, permasalahan yang lebih penting untuk diketahui adalah manhaj
(cara) yang bagaimana dan siapa tokoh-tokoh yang harus diikuti dalam
mempelajari, memahami, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam tersebut?
Ciri-ciri manhaj mereka adalah berdasarkan pada prinsip-prinsip berikut ini:
1. Al-Quran Al-Karim
Pedoman pertama dan paling tinggi dalam memahami dan mengamalkan ajaran
Islam yang paling benar dan selamat, tiada lain adalah Al-Quran
Al-Karim yang merupakan wahyu Allah subhanahu wa ta’ala. Barangsiapa
yang mengingkari wajibnya berpegang teguh dengan Al-Quran Al-Karim, maka
dia itu kafir menurut kesepakatan (ijma’) umat Islam. Wajibnya
berpegang teguh dengan Al-Quran Al-Karim tampak dari firman Allah ta’ala
berikut ini:
وَهَذَا كِتَابٌ أَنزلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan itulah kitab. Kami telah menurunkannya dengan penuh keberkahan,
maka ikutilah dan berdakwalah agar kamu mendapat rahmat”. (QS.
Al-An’am:155).
Dan dari sabda Nabi shallallahu ’alaihi wasallam:
أَلاَ وَإِنِّيْ تَارِكٌ فِيْكُمْ ثِقَلَيْنِ, أَحَدُهُمَا كِتَابُ اللهِ
عَزَّ وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللهِ مَنِ اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى
وَمَنْ تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلاَلَةٍ
“Sesungguhnya aku
tinggalkan bagimu 2 perkara, salah satunya ialah kitab Allah ‘azza wa
jalla, ia itu tali Allah, barangsiapa mengikutinya, maka ia berada di
atas hidayah. Barangsiapa meninggalkannya, maka ia dalam kesesatan”.
(HR. Muslim IV/1873 no.2408).
2. Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam yang shahih.
Pedoman yang kedua adalah Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam yang
shahih. Hal ini dapat dimaklumi dan tidak bisa diingkari. Dalam
memahami dan mengamalkan Al-Quran Al-Karim, baik dari segi akidah,
ibadah, muamalah, adab dan akhlak tidak dapat dilepaskan dari peranan
hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, karena hadits merupakan
penjelasan yang rinci dan detail terhadap apa yang dikandung Al-Quran
secara global dan umum. Bahkan ini merupakan metode yang ditentukan oleh
firman Allah ta’ala:
وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami telah menurunkan Adz-Dzikr (Al-Quran) agar kamu (Rasulullah
shallallahu ’alaihi wasallam) menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka, dan agar mereka memikirkannya”. (QS.
An-Nahl: 44).
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda:
أَلاَ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
“Ketahuilah sesungguhnya diturunkan kepadaku Al-Quran dan yang serupa
bersamanya (As-Sunnah/hadits Nabi)”. (HR. Ahmad IV/130 no.17213, dan Abu
Dawud II/610 no.4604).
Berepegang dengan Al-Quran dan
As-Sunnah belumlah cukup. Banyak dijumpai dalam buku atau
pengajian-pengajian yang mengupas masalah yang sama, tapi penjelasannya
berbeda atau malah berlawanan, hal ini bisa bahaya sebab kalau
menyangkut masalah akidah jika salah maka neraka akibatnya. Contohnya
golongan Ahmadiyah membelokkan makna sabda Nabi shallallahu ’alaihi
wasallam, (لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ ) “Tidak ada Nabi sesudahku”. Dengan
mengatakan bahwa, “Bersamaku tidak ada Nabi, akan tetapi jika aku telah
mati akan ada Nabi”. Mereka juga mengartikan makna (خَاتَمَ) khatam dari
ayat di bawah ini, (…وَلَكِنْ رَسُوْلَ اللهِ وَ خَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ
…) “Tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi”. (QS. Al-Ahzab:
40). Dengan arti yang berbeda yaitu “perhiasan para nabi”, karena
khatamu kalau diterjemahkan adalah perhiasan jari (cincin). Dari sini
dapat diketahui bahwa pemahaman terhadap Al-Quran dan
As-Sunnah/Al-Hadits tidak boleh dilakukan oleh semua orang, karena bisa
menjerumuskan pada kesesatan.
3. Atsar (perkataan atau perbuatan) para sahabat Nabi.
Untuk dapat memahami dan mengamalkan dua pedoman di atas dengan benar,
maka haruslah merujuk kepada atsar (riwayat berupa perkataan dan
perbuatan) para sahabat. Hal ini jelas terlihat dalam berbagai riwayat
hadits iftiraq al-ummah (perpecahan umat) yang jalur periwayatannya
banyak sekali. Semuanya menyatakan bahwa hanya satu golongan yang
selamat dari perpecahan tersebut, yaitu yang mengikuti jejak Rasulullah
shallallahu ’alaihi wasallam dan para sahabat. Allah subhanahu wa ta’ala
sendiri telah ridha terhadap mereka, seperti dalam firman-Nya:
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ
الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزلَ السَّكِينَةَ
عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya Allah
telah ridha terhadap orang mukmin yang berjanji setia kepadamu di bawah
pohon (bai’at al-ridwan). Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati
mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan bagi
mereka kemenangan yang dekat”. (QS. Al-Fath: 18).
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhuma berkata: “Kami (saat itu) berjumlah 1400 orang”. (HR. Bukhari).
Dan di dalam ayat lain Allah berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang
terdahulu yang pertama masuk Islam dari orang-orang Muhajirin dan
Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi
mereka surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung”. (QS. At-Taubah:
100).
Dalam tafsir Ibnu Katsir dinyatakan bahwa orang yang
membenci dan mencela baik sebagian atau semua sahabat Nabi, akan
mendapat kecelakaan. Sebagaimana kelompok Syi’ah (Rafidhah) yang
kerjaannya hanya membenci, mencela dan menentang keutamaan para sahabat
Nabi. Padahal Nabi sendiri bersabda:
أَكْرِمُوْا أَصْحَابِيْ ، فَأِنَِّهُمْ خِيَارُكُمْ
“Muliakanlah para sahabatku, karena sesungguhnya mereka adalah orang
terbaik di antara kalian”. (Dikeluarkan oleh ‘Abd bin Humaid di dalam
Musnadnya no.23, Ibnu Baththoh di dalam Al-Ibanah Al-Kubro no.84, dan
selainnya. Dan dinyatakan SHOHIH oleh Syaikh al-Albani di dalam Misykat
Al-Mashobih III/308 no.6003).
Dalam hadits lain Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
لاَ تَسُبُّوْا أَ صْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أّحَدَكُمْ أّنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ
“Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang dari
kalian berinfaq emas seperti gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud
(infaq) salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya”. (HR.
Bukhari III/1343 no.3470, dan Muslim IV/1967 no.2540, dan Ahmad III/63
no.11626).
Beliau shallallahu ’alaihi wasallam Juga bersabda:
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ
“Barangsiapa mencela sahabatku, maka ia mendapat laknat Allah”. (HR.
Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushonnaf no.1741, dan Ibnu Abi ‘Ashim
dalam As-Sunnah no.832. Dan dinyatakan HASAN oleh syaikh Al-Abani di
dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah V/446 no.2340).
Imam
Thahawi berkata: “Benci terhadap sahabat adalah kekafiran, kemunafikan
dan tindakan melampaui batas”. Imam Abu Zur’ah Ar-Razi berkata: “Jika
kamu melihat seseorang melecehkan seorang sahabat Nabi, maka ketahuilah
bahwa ia seorang zindiq (munafik). Karena menurut kita, Rasulullah
shallallahu ’alaihi wasallam adalah benar dan Al-Quran juga benar.
Sedangkan yang menyampaikan Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu ’alaihi
wasallam kepada kita adalah para sahabat. Mereka hanya ingin mencela
para saksi kita untuk menghancurkan Al-Quran dan As-Sunnah (Al-Hadits).
Celaan kepada mereka (para pencela) lebih pantas, dan mereka adalah
zindiq”. Mengenai keadilan dan keutamaan para sahabat sudah banyak
dijumpai baik di dalam Al-Quran maupun As-Sunnah yang shahih. Keharusan
mengikutinya adalah suatu hal yang wajib, masuk akal, bisa diterima
serta maklum adanya. Merekalah saksi hidup yang dibimbing langsung oleh
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, sehingga lebih mengetahui dan
paham mengenai ajaran Islam dan pengamalannya.
4. Jejak para tabi’in dan tabiut tabi’in.
Setelah masa sahabat, terdapat suatu generasi yang masih komitmen
mengikuti jejaknya. Demikian pula para ulama sesudah generasi mereka.
Anjuran untuk senantiasa bersama-sama dengan generasi yang utama dalam
memahami dan mengamalkan ajaran Islam didasarkan firman Allah subhanahu
wata’ala dalam surat At-Taubah ayat 100 yang telah kita sebutkan di
atas. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ, ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ, ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang sesudah mereka,
lalu yang sesudahnya lagi”. (HR. bukhari II/938 no.2509. lihat pula
hadits nomor. 3451, 6065, 6282, dan Muslim IV/1962 no.2533).
Semoga setelah mengetahui cara memahami dan mengamalkan ajaran Islam
secara benar, akan lebih memperkokoh dalam menghadapi suara-suara
sumbang baik musuh dalam diri Islam (orang munafik dan ahli bid’ah)
maupun orang-orang kafir. Jangan mudah tertipu propaganda palsu yang
menyesatkan, yang berkedok Al-Quran dan As-Sunnah namun pemahamannya
keliru. Yang lebih penting, semoga kita bisa beramal dan berdakwah
dengan landasan yang kuat.
(Sumber: Buletin Dakwah Al-Ittiba’ Edisi 1 Tahun I , 2006, Yayasan Mutiara Hikmah, Klaten – Jawa Tengah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar