Sabtu, 21 September 2013

.::JANGAN KAU CELA ORANG TUAMU

Alhamdulillah wa Sholatu wa Salamu ‘alaa Rosulillah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam.

Jika kita membaca tulisan di atas maka seolah-olah hal tersebut tidak mungkin dilakukan seorang anak kandung. Namun Al Imam Bukhori[1] Rohimahullah membuat judul bab yang semakna dengan judul di atas. Beliau mencantumkan judul bab (باب لا يسب والديه) ‘Bab Tidak Boleh Mencela Kedua
Orang Tuanya’. Kemudian beliau Rohimahullah membawakan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr Rodhiyallahu ‘anhu berikut,

حدثنا محمد بن كثير قال أخبرنا سفيان قال حدثني سعد بن إبراهيم عن حميد بن عبد الرحمن عن عبد الله بن عمرو قال قال النبي صلى الله عليه و سلم

مِنْ الْكَبَائِرِ أَنْ يَشْتُمَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ.

قَالُوا وَكَيْفَ يَشْتُمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ.

قَالَ يَشْتُمُ الرَّجُلُ فَيَشْتُمُ أَبَاهُ وَ أُمَّهُ

Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami. Dia mengatakan, ‘Sufyan telah mengabarkan kepada kami’. Dia mengatakan, ‘Sa’d bin Ibrohim telah mengabarkan kepadaku dari Humaid bin ‘Abdur Rohman dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Dia mengatakan, ‘Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda,

“Termasuk dosa besar seorang laki-laki yang mencela kedua orang tuanya”.

Para sahabat bertanya, “Bagaimana (mungkin/bisa –ed.) seorang laki-laki mencela kedua orang tuanya sendiri ?”

Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan,

مِنْ الْكَبَائِرِ أَنْ يَشْتُمَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالُوا وَكَيْفَ يَشْتُمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ

“Termasuk dosa besar seseorang mencela kedua orang tuanya”. Para sahabat bertanya, “Bagaimana seseorang bisa mencela kedua orang tuanya ?” Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Seseorang mencela ayah orang lain lalu orang lain tersebut membalas mencela ayahnya kemudian dia membalas mencela ibu orang lain lalu orang lain tersebut membalas dengan mencela ibunya”[3].

Penjelasan Hadits

Syaikh Husain Al ‘Uwaysyah hafidzahullah mengatakan,

“Sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam (مِنْ الْكَبَائِرِ أَنْ يَشْتُمَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ.) berfungsi untuk mendorong para sahabat yang mendengar untuk lebih memberikan perhatian atas dan memaling perhatian mereka ke perkara yang amat penting serta mendorong mereka untuk tanya jawab[4].

Pertanyaan para sahabat Rodhiyallahu ‘anhum (كَيْفَ يَشْتُمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ). Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, “(Pertanyaan ini menunjukkan –ed.) rasa ketidakmungkinan menurut para penanya yaitu para sahabat Rodhiyallahu ‘anhum. Hal ini karena tabiat yang masih lurus mengingkari hal itu terjadi. Maka Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam menjelaskan dalam jawaban beliau, sesungguhnya walaupun keumumannya tidak saling berteriak secara keras-keras namun mungkin saja atau terkadang terjadi disebabkan hal itu (seseorang mencaci orang lain) dan hal inilah yang sering terjadi”[5].


Syaikh Abu Muhammad bin Abu Jamroh mengatakan,

“Pada hadits ini terjapat dalil yang menunjukkan betapa besarnya hak kedua orang tua. Pada hadits ini juga terdapat keumuman yang sering terjadi. Karena sesorang yang mencela ayah orang lain boleh jadi anak orang yang dicela mencela orang tua pencela dan boleh jadi juga tidak membalasnya. Namun pada umumnya adalah yang pertama”[6].

Faidah Yang Dapat Diambil[7]

1. Haram hukumnya mencela kedua orang tua.

2. Termasuk perbuatan durhaka kepada kedua orang tua menyebabkan kedua orang tua dicaci orang lain karena kita mencaci orang lain atau orang tua orang lain.

Mudah-mudahan bermanfaat.

Aditya Budiman bin Usman

[1] Lihat Adabul Mufrod (Rosyul Barod Syarh Adabul Mufrod hal. 31, Cet. Dar Ad Da’i Riyadh, KSA).

[2] HR. Bukhori dalam Adabul Mufrod no. 27. Al Albani Rohimahullah mengatakan, “Shahih”. Hadits ini juga dikeluarkan Imam Muslim dalam Al Iman Bab Penjelasan Dosa Besar dan Yang Paling Besar” no. 146.

[3] HR. Ahmad no. 6529. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan, “Sanadnya shohih sesuai syarat Bukhori Muslim.

[4] Lihat Syarh Adabul Mufrod hal. 46/I terbitan Maktabah Islamiyah, Mesir.

[5]Lihat Syarh Adabul Mufrod hal. 46-47/I

[6] Idem.

[7] Lihat Rosyul Barod hal. 31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar